Beragam reaksi masyarakat
menanggapi peristiwa yang menimpa majalah satir Prancis Charlie Hebdo.
Ada yang menggunakan kepala dingin dan ada yang sebaliknya. Ada yang
beraksi melalui demo, tapi tak menutup kemungkinan ada pula yang akan
mengambil aksi keras seperti yang terjadi pada tanggal 7 Januari 2015
kemarin. Kantor majalah satir Prancis Charlie Hebdo yang menerbitkan
karikatur penistaan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassalam diserang
oleh dua orang yang tidak terima nabinya dilecehkan. Akibatnya, sebanyak
12 orang tewas dalam serangan itu.
Tak pelak, peristiwa ini dimanfaatkan oleh
barat untuk melakukan serangan balik –melalui media-, pada Hari Ahad
(11/01/2015) lebih dari satu juta orang turun ke jalanan Paris. Mereka
menyatakan solidaritas terhadap Charlie Hebdo sekaligus menentang
serangan yang menewaskan 12 orang itu. Sebanyak empat puluh orang tokoh
dan pemimpin negara ikut ambil bagian dalam aksi itu. Solidaritas untuk
Charley Hebdo mengkampanyekan opini melawan terorisme.
Tentu, tragedi itu harus dipandang secara
menyeluruh, termasuk dari sisi aksi dan reaksi. Tragedi itu bukan
berdiri sendiri. Charlie Hebdo (Charlie Weekly) dikenal sebagai majalah
satir porno yang sangat kontroversi , yang selalu menyindir para
pemimpin politik dan agama. Sudah beberapa kali majalah ini memuat
pelecehan terhadap Nabi Muhammad. Suatu yang wajar apabila ada umat Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wassalam yang tidak terima atas kelakuan Charlie
Hebdo.
Namun aksi provokatif berupa penistaan
Islam dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassalam dilakukan berulang-ulang itu
justru dibela oleh Pemerintah Prancis dan dibenarkan oleh Mahkamah
Agung Prancis. Aksi-aksi itu jelas bisa memicu kemarahan pada diri
seorang Muslim.
Hanya mengutuk pelaku serangan itu dan
sebaliknya tidak mengutuk Charlie Hebdo jelas tidak adil. Sayang, itulah
yang tampak lebih menonjol saat ini. Begitu pintarnya media Barat
mengarahkan opini publik seakan-akan satu-satunya yang patut dikecam dan
dilawan adalah orang-orang muslim yang melakukan pembelaan terhadap
nabi mereka.
Standar Ganda Barat
Tampak jelas standar ganda Barat. Mereka
demikian peduli dan simpati terhadap korban serangan di kantor majalah
satir yang menebar provokasi itu. Sebaliknya, mereka diam terhadap
ribuan korban pembantaian oleh zionis Israel dan malah membela zionis
Israel itu. Barat juga diam terhadap pembunuhan jutaan orang di Irak,
pembantaian ratusan ribu kaum Muslim oleh rezim Asad di Suriah serta
pembunuhan umat Islam di Rohingya, Pakistan, Afrika, Xinjiang dan tempat
lainnya. Bahkan Barat menjadi pelakunya.
Ini bukan berarti meremehkan serangan yang terjadi Rabu (7/1) lalu itu. Serangan itu jelas tidak bisa menyelesaikan masalah.
Serangan itu juga jelas berdampak negatif
bagi orang-orang Eropa non-Muslim, bisa menjauhkan mereka dari usaha
mengenal Islam. Serangan itu juga mendatangkan dampak negatif dan
kesulitan tersendiri bagi generasi Muslim di Eropa.
Islamophobia pasca serangan itu terlihat
meningkat di Eropa. Di Prancis dan beberapa negara Eropa lainnya,
serangan dan pelecehan terhadap masjid dan fasilitas Islam lainnya
dikabarkan meningkat. Beberapa masjid yang berada di Prancis menjadi
sasaran penyerangan sejumlah kelompok. Mereka menghadapi gelombang
kekerasan, termasuk pembakaran, penembakan dan penodaan kesucian masjid,
setidaknya di 13 kota di seluruh negeri.
Inilah perang media! Saat ini perang tak
hanya dilakukan dengan bom, mesiu, tank, ataupun senjata lainnya. Namun
perang juga dilakukan lewat pena dan kata-kata yang muncul di berbagai
media. Seperti halnya kasus WTC, 11 September 2001 lalu, kini media
baratseperti Majalah Charlie Hebdo kembali melakukannya.
Majalah Charlie Hebdo sendiri telah
beberapa kali memuat gambar kartun yang melecehkan terkait Nabi
Muhammad, baru-baru ini mengulangi hal yang sama. Tentunya, hal ini
menimbulkan berbagai reaksi dari para umat Muslim di seluruh dunia.
Sikap Munafik Barat
Barat menganggap serangan ke kantor Charlie Hebdo itu sebagai serangan terhadap nilai-nilai dan sistem yang diyakini Barat.
Presiden Prancis Francois Hollande
menegaskan dalam orasinya di depan kantor majalah tersebut bahwa
serangan itu “menyentuh prinsip-prinsip dari Republik Perancis, yaitu
kebebasan dan kebebasan berekspresi.” Perdana Menteri Inggris David
Cameron mengatakan, “Kami tidak akan mentoleransi para teroris itu
menghancurkan atau menyerang nilai-nilai demokrasi kami dan kebebasan
berbicara.”
Bahkan Perdana Menteri Prancis Manuel
Valls mengatakan (Kompas, 12/01/2015), “Demonstrasi ini harus
menunjukkan kekuatan dan kehormatan orang Prancis yang akan menyerukan
kecintaan mereka terhadap kebebasan dan toleransi.”
Klaim kebebasan berekspresi Barat
nampaknya hanya klaim kosong. Di mana klaim kebebasan itu ketika mereka
mempersulit bahkan melarang Muslimah mengenakan jilbab di ruang publik,
hak mereka mendapat pendidikan dirampas, kecuali mereka menanggalkan
jilbab. Bahkan memakai cadar dianggap bersalah secara hukum dan dijatuhi
sanksi dengan membayar denda.
Dalih kebebasan berekspresi mereka gunakan
sesuai dengan kepentingan mereka. Sementara menghina dan menistakan
Islam dan Nabi Muhammad dibela dengan alasan kebebasan berekspresi.
Sebaliknya, menyoal kejahatan dan pembantaian oleh Yahudi atas ribuan
warga Palestina kerap dituding anti semit.
Dalam kasus Charlie Hebdo, ketika
mayoritas negeri Islam memprotes dan menuntut Charlie Hebdo menanggalkan
karikatur penistaan Nabi, mereka tidak menggubrisnya. Berbeda pada 2008
lalu ketika salah seorang kartunis Charlie Hebdo, membuat karikatur
anak laki-laki Nicholas Sarkozy yang menikahi ahli waris Yahudi karena
uang. Karikatur itu tampaknya merendahkan Sarkozy. Maurice Sinet pun
dipecat dari majalah Charlie Hebdo.
Jelas, kebebasan berekspresi hanya
dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan Barat. Kebebasan berekspresi
merupakan tipuan dan alat penjajahan Barat. Kaum Muslim dipaksa untuk
menerima penistaan terhadap Islam dan Nabi Muhammad serta menerima Islam
versi Barat. Jika tidak, mereka akan disebut fundamentalis, radikal
bahkan teroris.
Sayang, bukannya melakukan itu, para
penguasa negeri Islam itu justru berbaris rapi bergandengan tangan
dengan para pemimpin musuh Islam. Mereka juga terjangkiti standar ganda
dan kemunafikan Barat. Jika mereka mengecam serangan itu sebagai
terorisme, mengapa mereka tidak mengecam dan bersikap sama saat ribuan
umat Islam di Gaza dibunuh oleh Yahudi, saat ratusan ribu Muslim
dibantai rezim Asad di Suriah yang didukung Barat, saat jutaan orang di
Irak tewas akibat invasi AS dan sekutu, saat ribuan Muslim Rohingya
dibunuh dan diusir, saat Muslim di Afrika dibantai dan dicincang, saat
penghinaan dan penindasan ditimpakan terhadap kaum Muslim?!
Semua itu menjadi bukti bahwa keberadaan
para penguasa negeri Islam itu bukanlah demi kepentingan Islam dan kaum
Muslim. Keberadaan mereka seperti boneka atau budak yang tunduk patuh
pada arahan tuan mereka, yakni Barat.
Kita Butuh Pemimpin Islam Hakiki
Telah tampak bahwa keberadaan pemimpin di
negeri-negeri Islam sekarang ini bukan menjadi kebaikan bagi Islam dan
kaum Muslim, tetapi justru menjadi bagian dari keburukan. Keberadaan
para pemimpin negeri Islam saat ini tidak demi Islam dan demi melindungi
izzul Islam wal mu’minin. Pasalnya, mereka bukan memimpin atas dasar
Islam dan tidak menjadikan Islam sebagai sistem kepemimpinan mereka.
Keberadaan kepempinan Islam (khilafah)
mampu menjaga serta melindungi kemuliaan Islam, kehormatan Nabi serta
martabat dan kekayaan kaum Muslim.
« إِنَّمَا الإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ »
“Seorang imam itu sesungguhnya laksana
perisai; orang-orang berperang di belakang dia dan menjadikan dia
sebagai pelindung.” (HR al-Bukhari dan Muslim). Allahu a’lam
bish-shawaab.*